CERPEN : Terima Kasih, Tante Lia
15.59 Edit This 0 Comments »Sudah beberapa hari ini ada yang tidak enak di dalam mulutku. Ada yang mengganjal, rasanya. Aku jadi tidak enak makan. Gara-gara itu, ibuku jadi curiga karena aku jadi tidak suka makan. Ibu pikir, aku sariawan, maka dimintanya aku untuk membuka mulut, dan diperiksanya bagian dalam mulutku. Tiba-tiba ibuku berseru kaget,
"Aduh kakak... satu gigi susumu sudah tumbuh lagi nih jadi saling tumpang-tindih begini. Giginya goyang atau tidak?" Aku bingung dan menggeleng.
"Ini sih harus dicabut, kak. Kita ke dokter gigi ya!" Ah... mimpi buruk! Aku tidak ingin ke dokter gigi. Aku pernah melihat aksi dokter gigi di TV yang sedang mengorek-orek mulut seorang pasien, dan kelihatannya, pasien itu kesakitan sekali. Aku tidak mau mulutku dicongkel-congkel oleh dokter gigi dengan sederetan peralatannya yang uh... kelihatannya mengerikan sekali. Pokoknya aku tidak mau!
Sore harinya, ibuku melaporkan keadaan gigiku kepada ayah, dan lagi-lagi aku dipaksa membuka mulut oleh ayah. Ayah juga menyuruhku untuk segera pergi ke dokter gigi.
"Ibu pergi saja berdua dengan kakak, biar ayah yang jaga adik di rumah." Kata ayah. Ibu menggeleng.
"Tidak mau. Ayah harus ikut." Katanya. Lho...? Kenapa ibu tidak mau pergi berdua saja denganku ke dokter gigi? Aku jadi tambah takut. Memangnya ada apa sih di tempat dokter gigi, sampai ibuku tidak mau mengantarku ke sana?
"Ya sudah... besok sore kita antar kakak ke dokter gigi." Jawab ayah.
Ah, aku sudah sangat ketakutan, dan sama sekali tidak ingin pergi ke dokter gigi. Kenapa sih gigiku harus tumbuh bertumpang-tindih? Kenapa sih gigiku harus dicabut? Iih, mendengar kata "dicabut" saja rasanya sudah ngeri. Pasti rasanya sakit sekali. Aku tidak mau ke dokter gigiii...!!
Tapi rupanya ayah tidak bisa dibantah. Keesokan harinya ayah membawaku ke tempat praktik dokter gigi, bersama ibu dan adik yang baru berumur 2 tahun. Adikku ini cerewet sekali, dia mengoceh terus sepanjang perjalanan, juga di ruang tunggu dokter gigi yang bersih dan beraroma segar, sementara aku tegang menunggu giliranku masuk ke ruang dokter.
Akhirnya tiba giliranku! Seorang perawat memanggil namaku, dan ibu setengah menyeretku untuk masuk ke dalam ruangan praktek dokter itu. Aku sungguh-sungguh tidak mau masuk, tapi malu juga dengan pasien lain yang masih duduk-duduk di kursi ruang tunggu. Ruangan praktik dokter itu ternyata menyenangkan, dengan dinding yang dipenuhi gambar-gambar kartun di satu sisi, dan gambar berbagai bentuk gigi di dinding lainnya. Dokter gigi itu pun terlihat ramah, bersuara lembut dan selalu tersenyum. Aku jadi tidak terlalu tegang.
"Panji ya?" Tanya dokter itu, membaca namaku yang tertera di kartu berobat.
"Iya dokter, tapi sering dipanggil kakak." Ibuku yang menjawab. Aku masih terlalu takut untuk berbicara.
"Wah... nggak usah panggil dokter. Panggil tante Lia saja ya." Ujar dokter itu, sambil tersenyum memamerkan barisan gigi putihnya yang rapi.
"Nah, kakak duduk di kursi ini ya..." dokter itu menepuk kursi panjang di sebelah tempat duduknya. Di depan kursi panjang itu terdapat berbagai peralatan yang tidak ingin kulihat, maka aku mengalihkan pandangan ke dinding yang dihiasi beberapa gambar kartun yang lucu.
"Kursinya diatur dulu ya kak..." ujar dokter itu, hm... tante Lia. Eh... kursi yang kududuki diaturnya naik-turun dan juga agak diajukan ke depan. Mungkin supaya tante Lia bisa melihat bagian dalam mulutku dengan lebih jelas. Asyik juga nih kursinya. Setelah itu, tante Lia menyalakan sebuah lampu yang terang sekali di depan mukaku. Aku tetap melihat ke dinding.
"Boleh dibuka mulutnya, kak? Tante mau memasukkan cermin kecil ini untuk melihat gigi kakak." Pintanya. Ragu-ragu, aku membuka mulutku sedikit.
"Lebih lebar lagi, kak. Nah... begitu. Pintar ya." Tante Lia memeriksa mulutku. Aku tidak merasa apa-apa. Dia lalu mengambil alat lain dari mejanya.
"Kakak sudah sekolah?" Aku mengangguk.
"Sudah bisa menulis?" Aku mengangguk lagi. "
Pintar ya. Sekarang tante mau memasukkan bolpen ajaib nih ke mulut kakak, dan nanti kakak tidak akan merasa apa-apa." Tante Lia masih bicara macam-macam, panjang lebar, dan aku hanya mengangguk atau menggeleng kecil sambil membuka mulutku lebar-lebar. Mulutku tidak merasakan apa-apa kecuali gerakan-gerakan kecil yang dibuat tante Lia yang tidak terasa sakit sama sekali. Tahu-tahu tante Lia mengacungkan sebuah gigi kecil. Gigiku sudah dicabutnya! Setelah itu Tante Lia membersihkan gusiku dengan segumpal kapas, lalu disuruhnya aku untuk berkumur, dan selesailah sudah! Eh!! Sudah?? Hore...! Aku senang sekaligus heran, karena tante Lia sudah mencabut gigiku dengan cepat dan tidak sakit sama sekali.
"Nah... sekarang gigi kakak yang belakang bisa tumbuh dengan bebas. Kakak bisa makan dengan nyaman lagi, tanpa terganggu oleh gigi yang tumpang-tindih." Ucap tante Lia sambil menggerakkan meja peralatannya supaya aku bisa turun dari kursi dengan leluasa. Aku lega sekali. Mulutku masih belum merasakan apa-apa, tapi aku bisa mengucapkan terima kasih untuk Tante Lia. Aku tidak takut ke dokter gigi lagi, asal dokter giginya sebaik tante Lia.